Jakarta,neodetik.com || Di zaman sekarang ini, kecepatan seolah menjadi nilai yang diagungkan. Semuanya harus serba cepat mulai dari pengiriman barang, informasi, komunikasi bahkan pencapaian pribadi. Kita berlomba-lomba mengejar target, karier, meraih gelar dan mengisi waktu luang dengan produktivitas tanpa henti. Namun, benarkah hidup yang serba cepat adalah hidup yang terbaik?
Ketika segala sesuatu dipercepat, kita cenderung akan kehilangan kesempatan untuk merenung, menikmati setiap proses yang berjalan dan membangun makna yang lebih dalam. Hubungan antar manusia menjadi superfisial serta pengalaman hidup yang terasa dangkal. Hidup yang terfokus hanya pada kecepatan dapat membuat kita menjadi robot produktif, namun miskin jiwa.
Menggali Kedalaman Hidup
Hidup lebih dalam berarti memberikan ruang bagi pengalaman, pemahaman dan pertumbuhan batin tentang memperhatikan hal-hal kecil, meresapi keindahan sederhana dan memahami hakikat peristiwa yang kita alami. Meluangkan waktu untuk merenungi perjalanan hidup, memperdalam relasi dengan orang lain dan mengenali diri sendiri adalah bagian dari hidup yang berkualitas
Sayangnya, budaya hari ini sering mendorong kita untuk berlari, bukan berhenti sejenak dan bertanya pada diri: Untuk apa semua ini aku lakukan? Apa Maknanya?
Dalam islam, hidup bukanlah perlombaan tanpa arah, melainkan perjalanan menuju ridha Allah SWT. Keberhasilan hidup diukur bukan dari seberapa cepat kita mencapai sesuatu, melainkan seberapa Ikhlas, kualitas dan bermakna amal kita.
Di dalam Al-Qur’an pada surah Al-Mulk ayat 2, Allah SWT berfirman:
ุࣙงَّูุฐِْู ุฎَََูู ุงْูู
َْูุชَ َูุงْูุญَٰููุฉَ َِููุจَُُْูููู
ْ ุงَُُّููู
ْ ุงَุญْุณَُู ุนَู
ًَูุงۗ ََُููู ุงْูุนَุฒِْูุฒُ ุงْูุบَُْููุฑُۙ
“yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha perkasa lagi Maha Pengampun.”
Ayat tersebut menegaskan bahwa yang diutamakan bukan banyaknya amal (kuantitas) melainkan kualitasnya. Amal yang dilakukan dengan keikhlasan, kesadaran dan kedalaman makna lebih bernilai disisi Allah SWT.
Rasulullah saw juga memberikan teladan tentang hidup yang seimbang. Beliau tidak terburu-buru dalam melakukan sesuatu. Dalam ibadah, beliau mengajarkan kekhusyukan, dalam hubungan sosial, beliau mendengarkan dengan sepenuh hati, dalam kehidupan sehari-hari beliau mempraktikkan kesederhanaan. Ini semua adalah bentuk hidup yang dalam, bukan hidup yang semata-mata cepat.
Prinsip tuma’ninah dalam shalat merupakan contoh nyata bagaimana islam mengajarkan kita untuk memperlambat gerak lahiriah agar sejalan dengan ketenangan batin. Dalam hadis disebutkan shalat yang dilakukan tanpa tuma’ninah dianggap tidak sempurna. Ini mengajarkan bahwa dalam ibadah sekalipun, lebih penting kedalaman daripada kecepatan.
Keseimbangan dalam Kehidupan
Bukan berati kecepatan selalu buruk. Dalam beberapa situasi, Islam justru mendorong kita untuk cepat bergerak, misalnya dalam menolong sesama atau dalam kebaikan. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 148:
ٍَُِّูููู ِّูุฌَْูุฉٌ َُูู ู
ََُِّْููููุง َูุงุณْุชَุจُِููุง ุงْูุฎَْูุฑٰุชِۗ ุงََْูู ู
َุง ุชَُُْْููููุง َูุฃْุชِ ุจُِูู
ُ ุงُّٰููู ุฌَู
ِْูุนًุงۗ ุงَِّู ุงَّٰููู ุนَٰูู ُِّูู ุดَْูุกٍ َูุฏِْูุฑٌ
“Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Secara keseluruhan, Islam mengajarkan prinsip wasathiyah (keseimbangan). Antara dunia dan akhirat, antara kerja keras dan ketenangan batin, antara kecepatan dalam amal baik dan kedalaman dalam perenungan. Hidup lebih dalam berarti memberi ruang untuk tafakur, memperbanyak dzikir, memperdalam rasa syukur dan meresapi keindahan ciptaan Allah SWT. Dengan demikian, hidup kita bukan hanya sibuk, akan tetapi juga bermakna.
Di tengah dunia yang terus memacu kita untuk hidup lebih cepat, justru kita perlu keberanian untuk melambat. Islam mengajak kita untuk kembali kepada fitrah. Hidup dengan kesadaran, tidak berlebihan dalam urusan dunia dan senantiasa menjaga keseimbangan antara kerja, ibadah dan istirahat.
Perlu kita ingat bahwa yang paling Allah nilai bukanlah kecepatan kita dalam mengejar dunia, melainkan kedalaman amal, keikhlasan niat dan ketulusan hati dalam setiap langkah. Mari kita renungkan kembali apa yang harus kita pilih agar menjadikan hidup kita menjadi bermakna dan bermanfaat bukan hanya sekedar cepat semata. []
Tim Redaksi