Wamena,Saya ingin memulai tulisan ini dengan seruan moral dan nurani: hentikan segala bentuk kekerasan terhadap masyarakat sipil di tanah Papua. Tanah ini bukan medan perang, tetapi ruang hidup masyarakat adat, ruang ibadah, dan ruang tumbuhnya harapan bagi generasi yang ingin damai dan bermartabat.
Beberapa waktu lalu, masyarakat Papua Pegunungan dikejutkan dengan dua insiden tragis: pembunuhan terhadap warga sipil non-OAP yang sedang membangun gereja, dan penembakan terhadap anggota kepolisian di depan RSUD Wamena yang diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata OPM. Dua peristiwa ini menunjukkan satu hal yang sama: kekerasan terus menjadikan rakyat sebagai korban utama.
Saya mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat sipil—baik itu dilakukan oleh kelompok bersenjata maupun oleh aparat negara. Mereka yang dibunuh saat membangun gereja bukanlah musuh siapa pun. Mereka tidak bersenjata, tidak berpolitik, tidak berkonflik. Mereka hanya ingin membangun tempat suci bagi umat Tuhan. Maka siapa pun yang menyerang mereka adalah pelanggar hak asasi dan kemanusiaan.
Demikian pula, penembakan terhadap aparat di area rumah sakit menunjukkan bahwa konflik bersenjata sudah melampaui batas ruang aman warga sipil. Wamena adalah pusat kehidupan masyarakat Papua Pegunungan—bukan ladang pertempuran. Di sini rakyat bersekolah, berdagang, berobat, dan berdoa. Ancaman untuk “menutup kota Wamena” bukan hanya menantang negara, tapi juga menghancurkan kehidupan rakyat kecil.
*Zona Sipil Bukan Arena Tempur*
Saya ingin menegaskan dengan tegas bahwa dalam hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa 1949, fasilitas sipil seperti sekolah, gereja, rumah sakit, dan pasar adalah zona netral yang tidak boleh dijadikan tempat konflik bersenjata. Pihak-pihak yang terlibat konflik—baik aparat negara maupun kelompok non-negara—WAJIB mematuhi hukum ini. Jika tidak, mereka bisa dikategorikan sebagai pelaku kejahatan perang.
Konflik, bila tak bisa dihindari, harus dilakukan jauh dari pemukiman warga. Kita bisa mengusulkan pembentukan zona terbuka atau zona netral di daerah-daerah terpencil sebagai tempat negosiasi atau interaksi terbatas, tanpa melibatkan masyarakat sipil.
*Kita Semua Gagal Jika Rakyat Masih Jadi Korban*
Saya menyampaikan dengan jujur: semua pihak telah gagal jika tidak mampu membedakan antara zona konflik dan zona rakyat. Jangan bermain senjata di wilayah yang penuh anak-anak, orang tua, dan ibu-ibu yang hanya ingin hidup tenang. Negara harus bertindak, tetapi dengan pendekatan rekonsiliasi, bukan pembalasan.
Pendekatan dominasi dan militerisasi tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Sebaliknya, pendekatan transformasi konflik—seperti yang disampaikan Johan Galtung—menawarkan jalan damai melalui perubahan struktur sosial, penyembuhan trauma, dan pengakuan sejarah luka.
*Solusi Damai dan Strategi Rekonsiliasi Papua*
Sebagai Ketua APS Papua Pegunungan, saya menyampaikan beberapa usulan konkret demi mencegah berulangnya kekerasan dan membuka jalan bagi perdamaian yang berkelanjutan:
1. Deklarasi Zona Damai Papua
Daerah seperti Wamena, Nduga, Tolikara, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan sekitarnya perlu dideklarasikan sebagai Zona Damai Papua. Pemerintah, TNI/Polri, dan OPM harus berkomitmen menjaga zona ini dari kekerasan.
2. Moratorium Militerisasi di DOB Papua
Pendekatan militer di wilayah DOB perlu dievaluasi ulang secara serius. Trauma kolektif masyarakat tidak bisa disembuhkan dengan kehadiran senjata. Pemda perlu diberikan kewenangan dalam membentuk sistem keamanan berbasis kearifan lokal.
3. Keterlibatan Tokoh Adat dan Gereja
Tokoh adat, tokoh agama, MRP, dan DPRD harus duduk bersama membangun kesepakatan bersama. Forum gereja dan Dewan Adat harus menjadi jembatan dialog antara negara dan kelompok bersenjata.
4. Peran Lembaga Internasional
Komnas HAM RI dan Dewan HAM PBB harus aktif mengawasi pelanggaran di Papua. Forum internasional seperti PIF dan UNDP dapat memfasilitasi dialog restoratif dan menjamin keadilan bagi korban.
5. Penghormatan terhadap Kearifan Lokal OAP
Dalam masyarakat Dani dan Nduga, dikenal konsep Wene–Wam–Wen yang menjunjung penyelesaian konflik melalui rekonsiliasi dan pemulihan relasi. Negara tidak boleh menyingkirkan nilai budaya ini dari strategi penyelesaian konflik.
*Penutup: Damai adalah Keberanian Memanusiakan*
Saudara-saudariku di Papua Pegunungan, kekerasan hanya akan menambah luka. Darah dan air mata tidak akan membawa kita pada kemerdekaan jiwa, melainkan pada kehilangan dan kepedihan.
Mari kita kembalikan tanah ini sebagai tanah kehidupan, bukan medan kematian.
Mari kita rawat nilai-nilai rekonsiliasi, kasih, dan penghargaan atas hidup manusia.
Mari kita ajak semua pihak untuk berhenti menembak dan mulai mendengarkan.
Damai bukanlah kelemahan. Damai adalah keberanian tertinggi untuk memanusiakan yang lain.
Oleh: Sonni Lokobal*
_Ketua Analisis Papua Strategis (APS) Provinsi Papua Pegunungan_