Jakarta,neodetik.com || Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 26 Juni 2025, dan dari operasi itu KPK menetapkan Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara, sebagai tersangka suap senilai Rp2 miliar proyek pembangunan jalan. Penetapan status tersangka Ginting pun merembet ke Bobby Nasution yang menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara di mana, menurut kabar yang beredar, Ginting merupakan orang dekat Bobby Nasution. Sebagai bahan informasi,
Topan Ginting pernah menjadi Tim Kampanye Bobby Nasution dalam Pemilihan Wali Kota Medan dan setelah kemenangan Bobby, Topan diangkat menjadi Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan.
Pengangkatan Ginting menjadi Kepala Dinas PU Kota Medan tentu menjadi hal “yang dilumrahkan” jika kita berbicara konteks politik balas budi karena, secara historis, politik balas budi atau Ethical Policy merupakan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.
Kedekatan antara Bobby dan Ginting pun tidak berhenti dengan diberikannya jabatan Kepala Dinas PU Kota Medan oleh Bobby kepada Ginting, karena pada kemenangan Bobby menjadi Gubernur Sumatera Utara, Ginting kembali mendapatkan posisi sebagai Kepala Dinas PUPR Sumatera Utara setelah sebelumnya menjabat sebagai PJ Sekda Kota Medan selama hampir satu tahun, yang berakhir pada Februari 2025.
Nah jika kita menganalisis kedekatan Bobby dan Ginting sejak masa kampanye Pemilihan Wali Kota Medan hingga terpilihnya Bobby sebagai Gubernur Sumatera Utara, yang diikuti oleh kenaikan posisi jabatan yang diterima oleh Topan Ginting, kita dapat melihat satu kasus yang mencolok yaitu politik balas budi yang sudah saya singgung tadi. Dan guna mendalami ethical policy ini, ada satu teori yang menurut saya sangat relevan untuk menjelaskannya.
Politik Balas Budi
Teori Patron-Klien merupakan kerangka analisis dalam ilmu politik dan sosiologi, yang menjelaskan hubungan timbal balik antara dua pihak dengan status sosial atau politik yang tidak setara. Teori yang dipopulerkan oleh James C. Scott dalam karyanya ini, menggambarkan dinamika di mana seorang patron yang memiliki kekuasaan, sumber daya, atau otoritas, memberikan manfaat seperti jabatan, perlindungan, atau akses ke sumber daya kepada seorang klien sebagai imbalan atas dukungan, loyalitas, atau jasa.
Di dalam konteks dua wayang dalam tulisan ini, hubungan patron-klien sering terlihat dalam praktik politik balas budi, di mana seorang pemimpin politik (patron) memberikan posisi atau keuntungan kepada pendukung setianya (klien) sebagai imbalan atas dukungan elektoral, mobilisasi massa, atau loyalitas politik.
Nah hubungan ini tidak hanya terjadi dalam sistem politik tradisional, tetapi juga dalam demokrasi modern, terutama di negara-negara berkembang di mana institusi politik masih lemah atau dipengaruhi oleh jaringan personal.
Patron-Klien sering digunakan untuk menganalisis dinamika politik lokal, seperti dalam pemilihan kepala daerah atau pengangkatan pejabat publik. Misalnya, seorang kepala daerah yang terpilih dapat mengangkat pendukung setianya ke posisi strategis sebagai bentuk imbalan atas dukungan selama kampanye.
Namun, praktik ini juga dapat memicu kritik, terutama ketika pengangkatan tidak didasarkan pada kompetensi, melainkan pada hubungan personal, sehingga berpotensi melanggengkan korupsi atau nepotisme. Teori ini sangat relevan untuk memahami bagaimana kekuasaan dan sumber daya didistribusikan dalam sistem politik yang belum sepenuhnya meritokratis.
Meskipun sering dikaitkan dengan praktik politik yang tidak sehat, hubungan patron-klien juga dapat memainkan peran positif, seperti memperkuat kohesi sosial atau memobilisasi dukungan dalam sistem politik yang kompleks. Namun, tantangan utama adalah bagaimana menyeimbangkan hubungan ini dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, seperti transparansi dan akuntabilitas.
Sumber: Hara