Jakarta,neodetik.com || Di tengah gemuruh janji pembangunan, suara rakyat kecil kembali bergema, “Kapan anak-anak kami bisa sekolah dengan layak?”
80 tahun Indonesia merdeka, akses pendidikan belum dinikmati secara merata. Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional 2023 dari BPS, tercatat ada 4,2 juta anak di Indonesia tidak bersekolah
Berdasarkan garis kemiskinan internasional yang baru, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194,4 juta jiwa atau 68,91 persen total populasi. Meningkat sangat jauh apabila dibandingkan dengan perhitungan kemiskinan versi BPS. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2024 mencapai 24,06 juta jiwa atau 8,57% dari total populasi.
Program Sekolah Rakyat
Pemerintah pusat meluncurkan program besar, Sekolah Rakyat. Presiden Prabowo berencana mendirikan Sekolah Rakyat yang diperuntukkan untuk anak-anak kurang mampu dan terkategori miskin ekstrem. Sekolah ini akan berada di bawah kewenangan Kementerian Sosial. Sekolah rakyat akan berbentuk sekolah asrama (boarding school) sehingga gizi siswa dapat terjamin dan biayanya pun gratis. Untuk jenjang SD, SMP, dan SMA.
Hal itu disampaikan oleh Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar setelah mengikuti rapat terbatas tentang pemberdayaan masyarakat yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, (5/7/2025).
Targetnya didirikan 200 Sekolah Rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia. Pendaftaran dimulai bulan April 2025. Dan sebagai tahapan awal disiapkan 53 Sekolah Rakyat yang akan beroperasi di tahun ajaran 2025-2026. Dibutuhkan dana sekitar Rp100 miliar untuk mendirikan 1 Sekolah Rakyat. Sumber dana Sekolah Rakyat adalah APBN, swasta, lembaga filantropi.
Syarat pendaftaran Sekolah Rakyat yakni pendaftar harus terdaftar dalam Data Terpadu Ekonomi Sosial Nasional (DTSN) desil 1. Tim lapangan harus melakukan pendataan dan dokumentasi langsung dengan mendatangi rumah mereka.
Sekolah Rakyat ini adalah bagian dari inisiatif pemerintah untuk memberikan akses pendidikan berkualitas kepada anak-anak dari keluarga miskin. Dengan adanya sekolah ini, diharapkan dapat membantu memutus rantai kemiskinan di daerah tersebut. Dengan perhatian yang lebih kepada pendidikan, pemerintah berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui investasi dalam pendidikan.
Pendidikan di Mata Kapitalisme
Melihat bersikukuhnya pemerintah dalam menjalankan program tersebut tidak bisa dilepaskan dari paradigma tata kelola negara yang bercorak sekuler kapitalistik. Pendidikan hanya dijadikan sebuah komoditas ekonomi serta sarana untuk meraih materi.
Dari sini kita bisa melihat bahwa tujuan pendidikan negeri ini sangat kental dengan motif kapitalistik, yakni hanya sebatas perolehan materi. Ilmu telah turun derajatnya, hanya sebagai sarana untuk mereka mendapatkan capaian materi bernama “penghasilan”. Akibatnya, seolah-olah menjadi wajar jika setelah mereka lulus ilmunya tidak bermanfaat bagi kemaslahatan umat.
Selain itu, pendidikan dalam asuhan tata kelola sekuler kapitalistik akan memunculkan ketimpangan. Sebabnya, pendidikan diposisikan sebagaimana komoditas ekonomi. Hanya mereka yang memiliki uang saja yang mampu mendapatkan pendidikan berkualitas.
Pengabaian terhadap sekolah-sekolah tidak layak di desa-desa pun makin mengkonfirmasi tata kelola program yang kapitalistik. Negara hanya memosisikan dirinya sebagai regulator bukan penanggung jawab urusan umat. Penguasa menutup mata atas kesulitan anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) untuk mengakses pendidikan.
Begitu pula saat pemerintah membuka peluang masuknya swasta dalam pembangunan Sekolah Rakyat. Kebijakan ini makin menegaskan negara kapitalistik yang tidak bisa berdiri tanpa ditopang pemilik modal. Kita sadar benar, keterlibatan swasta apalagi asing akan sangat berpengaruh terhadap intervensi suatu kebijakan.
Namun apa hendak dikata, defisitnya anggaran menjadikan negara harus siap diintervensi pihak luar pada setiap kebijakannya. APBN yang terus saja ditopang oleh pajak dan utang makin menjadikan negeri ini tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti keinginan para kreditur.
Pandangan Islam
Kunci lahirnya generasi unggul adalah pendidikan. Orientasi pendidikan dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari paradigma Islam. Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak semua individu. Negara harus memenuhi kebutuhan tersebut dengan pelayanan yang maksimal.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Negara dalam Islam memberikan layanan pendidikan dengan fasilitas terbaik berlandaskan pada prinsip-prinsip berikut:
Pertama, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk·merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang.
Strategi pendidikan Islam bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap Islam. Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut. Dengan demikian, Islam melahirkan generasi berkualitas dari sisi kekuatan iman dan kemampuan akademik, yakni memadukan iman, takwa, dan ilmu pengetahuan dalam satu paket lengkap kurikulum berasas akidah Islam.
Kedua, seluruh pembiayaan pendidikan di Negara diambil dari Baitulmal, yakni dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘amah (kepemilikan umum). Seluruh pemasukan Negara dalam Islam, baik yang dimasukkan di dalam pos fai’ dan kharaj maupun milkiyyah ‘amah boleh diambil untuk membiayai sektor pendidikan. Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, negara tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di Baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, Negara meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim.
Ketiga, akses pendidikan gratis dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi bagi seluruh rakyat. Islam tidak akan membiarkan peluang kebodohan berkembang di kalangan umat Islam hanya karena terhalang biaya pendidikan.
Oleh karena itu, Negara yang menerapkan Islam memberikan pendidikan bebas biaya untuk membuka pintu seluas-luasnya bagi seluruh rakyat agar dapat mengenyam pendidikan sesuai bidang yang mereka minati. Tidak heran, selama belasan abad peradaban Islam tegak, sistem pendidikan Islam dapat menghasilkan ilmuwan dan cendekiawan yang ahli dalam beragam disiplin ilmu dan berbagai bidang.
Sebutlah Imam Syafi’i. Beliau tidak hanya ahli usul fikih, tetapi juga fakih dalam ilmu astronomi. Ada pula Ibnu Khaldun, bapak pendiri historiografi, sosiologi, dan ekonomi. Beliau pun hafal Al-Qur’an sejak usia dini. Tidak hanya ekonomi, beliau juga ahli dalam ilmu politik. Ada Jabir ibn Hayyan ahli kimia, Ibn an-Nafis bapak fisiologi peredaran darah, dan masih banyak lainnya. Ilmuwan-ilmuwan itu tidak hanya cakap dalam sains, tetapi juga berperan sebagai ulama besar. Ilmu dunia dan akhirat berpadu demi kemaslahatan hidup manusia.
Keempat, negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan sarana ilmu pengetahuan lainnya di samping gedung-gedung sekolah dan universitas untuk memberi kesempatan bagi mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai cabang pengetahuan, seperti fikih, usul fikih, hadis, dan tafsir, termasuk di bidang ilmu murni, kedokteran, teknik, kimia, dan penemuan-penemuan baru (discovery and invention) sehingga lahir di tengah-tengah umat sekelompok besar mujtahid dan para penemu.
Itulah di antara fungsi pokok Negara dalam sistem Islam sebagai penyelenggara dan penanggung jawab atas pendidikan bagi seluruh rakyat. Kapitalisme menghasilkan pendidikan berkasta, sedangkan Islam mewujudkan pendidikan merata dan berkualitas di semua jenjang pendidikan. Tidak ada perbedaan fasilitas, baik di tingkat desa, kota, daerah terpencil, atau wilayah yang sulit dijangkau. Negara menyediakan infrastruktur publik yang memungkinkan seluruh rakyat dapat mengakses pendidikan dengan mudah dan nyaman. Wallahualam.[]
Witia Pisiska, Aktivis Muslimah Bandung.