Kalimantan,neodetik.com || Fenomena eksisnya pelacuran di Ibu Kota Nusantara menuai reaksi yang negatif dari beberapa kalangan, bahkan Cak Imin sendiri menilai bahwa adanya PSK di IKN merupakan sebuah kondisi yang berbahaya. Kota yang dirancang sebagai smart city, green city, Jokowi city, or whatever you all call it, sepertinya tidak memasukan unsur pelacuran di dalam rancangan para Otorita. Sehingga, ketika PSK eksis di IKN, semua merespon dengan pendekatan agama dan moral. Nah jika kita bicara tentang pelacur dan pelacuran dalam perspektif ilmu ekonomi, hadirnya PSK di sana tentu terjadi karena adanya peluang (SWOT) bagi PSK yang mana, peluang itu tercipta karena adanya demand dari para pekerja proyek atau bahkan pejabat sekitar sendiri.
Dengan adanya permintaan (demand), para PSK datang menawarkan supply dan terjadilah aktivitas ekonomi di sana. Meskipun pelacuran dapat dipahami sebagai respons rasional terhadap kebutuhan ekonomi, banyak pihak tetap saja melaknatnya karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, budaya, dan visi IKN sebagai kota modern.
Namun yang jadi pertanyaan, “Apakah pelacuran dapat dijelaskan melalui perspektif non agama dan moral?”
Pelacuran sebagai Pilihan Bebas
Dalam perspektif Teori Eksistensialisme sebagaimana dikembangkan oleh Jean-Paul Sartre, menempatkan kebebasan individu sebagai inti dari eksistensi manusia. Sartre berpendapat bahwa manusia "dihukum untuk bebas" yang artinya, setiap individu bertanggung jawab atas pilihan mereka tanpa ada esensi atau takdir yang telah ditentukan. Maka dari itu, Pekerja Seks Komersial (PSK) dapat dilihat sebagai individu yang membuat pilihan eksistensial untuk bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit. Banyak PSK yang datang dari luar daerah, seperti Bandung atau Makassar, kemungkinan menghadapi keterbatasan akses ke pekerjaan formal atau pendidikan. Memilih pelacuran, dalam hal ini, adalah tindakan untuk menciptakan makna dalam kehidupan mereka, meskipun pilihan ini sering kali dibatasi oleh struktur sosial dan ekonomi.
Sedangkan jika kita berbicara soal prosedural atau legalitas, kenapa Otorita IKN tidak menyediakan PSK bagi para pekerja? I mean, kita sudah mengetahui bahwa pekerja kasar penangkap ikan (merantau berbulan-bulan di laut, sebutannya apa ya?), menawarkan jasa pelacuran yang bisa diakses oleh para buruh. Nah jika Otorita IKN menawarkan hal yang sama, akan tercipta penerimaan pajak dari aktivitas pelacuran di sana jika terdapat regulasi yang jelas.
Nah kembali lagi ke eksistensial tadi, di mana kebebasan eksistensial akan bertabrakan dengan ekspektasi masyarakat di IKN. Norma agama dan budaya di Indonesia, yang cenderung kolektif, menolak otonomi individu dalam konteks pelacuran karena dianggap melanggar aturan moral absolute. Dari perspektif eksistensialisme, penolakan ini mencerminkan "angst" kolektif masyarakat terhadap kebebasan individu yang tidak selaras dengan nilai-nilai komunal. Sartre akan berargumen bahwa melaknat pelacuran adalah upaya untuk menghindari tanggung jawab atas realitas sosial, bahwa PSK adalah produk dari kegagalan sistemik, seperti ketimpangan ekonomi, bukan sekadar individu yang "berdosa." Maka dengan demikian, kutukan terhadap pelacuran di IKN lebih mencerminkan ketidakmampuan masyarakat untuk menghadapi kebebasan eksistensial PSK daripada kesalahan inheren dalam pilihan mereka.
Pelacuran dan Kesejahteraan
Dalam perspektif utilitarianisme, teori etika yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, menilai suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya, yaitu sejauh mana tindakan tersebut mampu memaksimalkan kebahagiaan atau kesejahteraan bagi sebanyak mungkin orang. Nah untuk kasus di IKN, fenomena pelacuran muncul sebagai realitas sosial yang kompleks, memunculkan sebuah pertanyaan, dapatkah pelacuran dibenarkan dari sudut pandang utilitarian, dan bagaimana pendekatan ini dapat menawarkan solusi yang lebih konstruktif?
Secara ekonomi, pelacuran di IKN dapat dipandang sebagai respons alami terhadap hukum permintaan dan penawaran. Ribuan pekerja konstruksi, yang mayoritas adalah pekerja migran yang jauh dari keluarga, menciptakan permintaan akan layanan seksual. Di sisi lain, para pekerja seks komersial PSK melihat peluang ekonomi di tengah proyek pembangunan berskala besar ini. Dari perspektif utilitarian, transaksi ini dapat dianggap meningkatkan utilitas bagi kedua belah pihak, yaitu PSK yang memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara klien mendapatkan kepuasan yang mereka cari. Selama aktivitas ini berlangsung secara konsensual dan tidak merugikan pihak lain secara signifikan, pelacuran dapat dianggap sebagai tindakan yang selaras dengan prinsip memaksimalkan kebahagiaan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pelacuran di IKN tidak selalu berjalan tanpa dampak negatif. Stigma sosial, keresahan masyarakat setempat, potensi penyebaran penyakit menular seksual, hingga risiko kriminalitas seperti eksploitasi dan perdagangan manusia, sering kali menyertai fenomena ini. Dalam kerangka utilitarianisme John Stuart Mill, yang menekankan kualitas kebahagiaan dan pertimbangan jangka panjang, dampak-dampak negatif ini harus diperhitungkan dengan serius. Jika pelacuran menghasilkan penderitaan yang lebih besar—seperti keresahan komunal, ketidakstabilan sosial, atau ketidakadilan terhadap individu yang terlibat—daripada kebahagiaan yang dihasilkannya, maka aktivitas ini sulit dibenarkan secara moral. Dengan demikian, kutukan masyarakat terhadap pelacuran dapat dipahami sebagai respons terhadap konsekuensi negatif yang dirasakan lebih dominan.
Meski demikian, utilitarianisme tidak hanya berhenti pada penilaian moral, tetapi juga menawarkan pendekatan solutif untuk mengelola dilema ini. Alih-alih sekadar melarang atau mengutuk pelacuran, pendekatan utilitarian mendorong upaya untuk meminimalkan kerugian sambil memaksimalkan manfaat. Misalnya, regulasi pelacuran melalui legalisasi terkontrol, seperti yang diterapkan di beberapa negara, dapat mengurangi risiko eksploitasi, memastikan perlindungan kesehatan bagi PSK dan klien, serta mengurangi stigma sosial melalui pengawasan yang transparan. Selain itu, pemberdayaan ekonomi bagi PSK—seperti pelatihan keterampilan kerja atau akses ke peluang usaha alternatif—dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan mereka pada pelacuran. Pendekatan ini tidak hanya menangani dampak negatif, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Kesimpulan
Fenomena pelacuran di Ibu Kota Nusantara (IKN) bukan sekadar isu moral atau pelanggaran terhadap visi kota modern, melainkan cerminan dari dinamika kompleks antara kebebasan individu, realitas ekonomi, dan nilai-nilai sosial yang saling bertabrakan. Dalam lensa eksistensialisme Jean-Paul Sartre, PSK dapat dipandang sebagai individu yang menjalankan kebebasan eksistensial mereka, membuat pilihan sulit untuk bertahan hidup di tengah keterbatasan ekonomi dan struktural. Pilihan tadi, meski sering dikutuk sebagai pelanggaran norma agama dan budaya Indonesia yang kolektif, sebenarnya mencerminkan kegagalan sistemik dalam menyediakan alternatif ekonomi yang layak, sehingga memaksa individu ke dalam profesi yang dipandang kontroversial. Penolakan masyarakat terhadap pelacuran, dalam pandangan Sartre, dapat dilihat sebagai bentuk "angst" kolektif—ketakutan menghadapi realitas bahwa PSK adalah produk dari ketimpangan sosial, bukan sekadar individu yang "berdosa."
Sementara itu, perspektif utilitarianisme Bentham dan Mill menawarkan sudut pandang yang lebih pragmatis, menilai pelacuran berdasarkan konsekuensinya terhadap kesejahteraan. Secara ekonomi, pelacuran di IKN muncul sebagai respons alami terhadap hukum permintaan dan penawaran, di mana ribuan pekerja migran menciptakan kebutuhan yang dipenuhi oleh PSK sebagai peluang ekonomi. Dalam kerangka ini, transaksi konsensual tersebut dapat meningkatkan utilitas bagi kedua belah pihak—PSK memperoleh pendapatan, dan klien mendapatkan layanan yang mereka cari. Namun, dampak negatif seperti stigma sosial, risiko penyebaran penyakit menular seksual, eksploitasi, dan keresahan komunal tidak dapat diabaikan. Utilitarianisme Mill, yang menekankan kualitas kebahagiaan dan dampak jangka panjang, menunjukkan bahwa pelacuran sulit dibenarkan jika penderitaan yang dihasilkan melebihi manfaatnya.
Maka dari itu, alih-alih hanya mengutuk atau melarang pelacuran, pendekatan yang lebih konstruktif adalah mengelola fenomena ini dengan solusi yang menyeimbangkan kebebasan individu dan kepentingan masyarakat. Regulasi terkontrol, seperti legalisasi dengan pengawasan ketat, dapat mengurangi risiko eksploitasi, melindungi kesehatan PSK dan klien, serta menghasilkan penerimaan pajak yang dapat digunakan untuk kesejahteraan publik. Selain itu, pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan keterampilan atau akses ke pekerjaan alternatif dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan pada pelacuran. Dengan demikian, pelacuran di IKN bukan hanya tantangan moral, tetapi juga panggilan untuk merancang kebijakan yang inklusif dan humanis, yang menghormati otonomi individu sekaligus meminimalkan dampak negatif bagi masyarakat. Pendekatan ini tidak hanya menjawab dilema pelacuran, tetapi juga memperkuat visi IKN sebagai kota yang modern, adil, dan berkelanjutan.
Sumber:Hara Nirankara