Demi Markas TNI, Rakyat Digusur? Aliansi Sipil Tuntut Hentikan Relokasi dan Usut Mafia Tanah"

Juni 11, 2025, Juni 11, 2025 WIB Last Updated 2025-06-11T07:49:29Z



Kabupaten Kupang, neodetik.com 

 Ratusan warga dari Kelurahan Naibonat dan Pulau Kera, yang tergabung dalam aliansi masyarakat sipil, memadati halaman Kantor Bupati Kupang pada Rabu, 11 Juni 2025. Aksi ini merupakan bentuk perlawanan terbuka terhadap rencana relokasi paksa yang diluncurkan Pemerintah Kabupaten Kupang dengan dalih pembangunan markas TNI AD dan penataan kawasan strategis.


Aliansi yang terdiri dari Front Mahasiswa Nasional (FMN), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) NTT, dan Ikatan Kaum Intelektual Fatuleu (IKIF), menilai proyek relokasi ini sarat pelanggaran hukum, tidak transparan, dan mengabaikan hak-hak dasar warga.


“Ini bukan sekadar penggusuran, tapi pemutusan sejarah dan hak hidup kami. Kami tinggal di sini sejak 1998, kami bukan penumpang gelap,” ujar Riki Hendri, Koordinator Aksi, dalam orasinya yang lantang disambut sorakan solidaritas.


Kebijakan Tanpa Kajian, Pemerintah Dituding Abai


Aksi ini menandai babak baru dalam konflik agraria yang membelit warga eks Timor Timur di Naibonat. Selama hampir tiga dekade, mereka menanti kepastian status tanah yang dijanjikan pemerintah pascareintegrasi. Namun alih-alih mendapat legalitas, kini mereka dihadapkan pada relokasi ke wilayah Burung Unta—lahan eks-HGU Orde Baru yang diklaim tidak layak huni dan diduga terlibat kasus korupsi pembangunan rumah 2.100 unit.


“Relokasi ini disusun tanpa partisipasi warga, tanpa kajian lingkungan, sosial, dan ekonomi. Rumah-rumah di Burung Unta bahkan belum layak ditempati,” ungkap Bung Syarul dari AGRA NTT dalam audiensi dengan Wakil Bupati Kupang.


Sementara itu, Asten Bait dari IKIF menyebut relokasi sebagai bentuk pembungkaman sejarah dan pengingkaran kontribusi warga eksodus.


“Jangan cuma bicara nasionalisme di mulut. Kalau memang negara hadir, maka akui dulu rakyatnya. Duduklah bersama, bukan usir secara diam-diam,” katanya.


Intimidasi, Penggusuran, dan Dugaan Mafia Tanah


Bukan hanya warga Naibonat yang bersuara. Perwakilan dari Pulau Kera pun turut turun ke jalan menolak relokasi ke Pantulan yang dinilai penuh intimidasi dan cacat prosedur. Mereka mengungkap adanya tekanan aparat, pengrusakan lahan, hingga larangan administratif untuk mengurus dokumen dasar seperti surat domisili.


“Kami sudah 141 tahun di Pulau Kera. Kami bukan pendatang liar. Kalau tanah ini bisa dijual, maka kemanusiaan sudah lama mati,” tegas Hamdan Saba, Ketua RW Pulau Kera, sembari menuding ada praktik mafia tanah yang berkolusi dengan pengusaha dan aparat.


Pernyataan Bupati Kupang, Yosef Lede, bahwa lahan Pulau Kera telah dibeli sejak 1986 oleh pihak swasta, juga dibantah tegas oleh warga yang menyebut tidak pernah ada transaksi terbuka maupun konsultasi publik terkait status tanah mereka.


Tuntutan Tegas: Reforma Agraria atau Perlawanan


Aliansi masyarakat menyampaikan 10 poin tuntutan kepada Pemkab Kupang. Mulai dari penghentian klaim TNI AD atas tanah warga Naibonat, pengakuan hak atas tanah bagi eks Timor Timur, pembatalan relokasi ke Burung Unta, investigasi kasus korupsi, hingga pengakuan penuh atas hak-hak warga Pulau Kera.


Salah satu tuntutan paling penting adalah pelaksanaan reforma agraria sejati dan penghentian seluruh aktivitas pembangunan di atas tanah yang masih dalam konflik.


“Tanpa pengakuan atas tanah, tidak ada pembangunan yang sah. Rakyat bukan objek, mereka adalah pemilik sah negeri ini,” seru salah satu orator.


Pemerintah Bungkam, Krisis Sosial Meningkat


Hingga berita ini dirilis, Pemerintah Kabupaten Kupang belum mengeluarkan pernyataan resmi. Namun gelombang tekanan dari publik, aktivis, dan kelompok intelektual terus menguat. Para pengunjuk rasa menegaskan, jika negara terus abai, maka mereka akan bertahan dan melawan.


“Kami bukan pengemis tanah, kami pewaris sejarah. Jika negara tak melindungi kami, maka rakyat akan melindungi diri mereka sendiri,” tutup orasi solidaritas yang memuncak dengan nyanyian perjuangan dan bentangan spanduk “Tanah untuk Rakyat, Bukan untuk Militer”.


Aksi damai yang berlangsung tertib itu berakhir dengan seruan lanjutan untuk dialog terbuka, serta peringatan bahwa eskalasi konflik tidak akan dapat dibendung jika pemerintah tetap menutup mata.


Reporter: Djohanes Bentah

Editor: Tim Redaksi detiksatu.com

Komentar

Tampilkan

  • Demi Markas TNI, Rakyat Digusur? Aliansi Sipil Tuntut Hentikan Relokasi dan Usut Mafia Tanah"
  • 0

Terkini

Pimpinan