Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Munawaroh: Yang Luput dari Pendidikan Al-Qur’an Dasar Kita

Juni 22, 2025 | Juni 22, 2025 WIB
Jakarta,neodetik.com || Suara anak-anak mengeja alif, ba’, ta’ saling bersahutan mengisi ruang kosong di salah satu masjid di pinggiran Kabupaten Sleman. Pengajar yang menyimaknya sesekali membenarkan satu dua kalimat yang salah.

Sekilas, TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang diselenggarakan setiap sore tersebut terlihat amat ayem di tengah hiruk pikuk daerah urban Yogyakarta.

Akan tetapi, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya: pengajaran Al-Qur’an dasar di sana, juga bisa ditarik sebagai fenomena umum di Indonesia, hanya berkutat kepada pengucapan huruf hijaiyyah secara dasar tanpa mementingkan makharijul huruf-nya


Hasilnya, seolah-olah ‘kha’ dan ‘ha’ adalah huruf yang sama, ‘qof’ kasrah yang menjad ‘qi’ tidak ada bedanya dengan ‘kaf’ kasrah yang menjadi ‘ki’, dan masalah-masalah serupa yang sedemikian menumpuk.

Makharijul Huruf dan Artikulator

Menurut Chaer (2019:5) ilmu fonologi adalah salah satu pencabangan dari ilmu linguistik yang mempelajari seluk beluk bunyi bahasa. Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa bunyi bahasa tidak sama dengan huruf alfabet. Jika dalam bahasa Indonesia terdapat alfabet ‘i’, maka ada perbedaan pengucapannya dalam ‘bibi’ dan ‘bibir’. Hal itu karena ada perbedaan antara bunyi /i/ dalam /ˈbibi/ (dibaca ‘i’ biasa) dengan /ˈbibɪr/ (‘i’ nya mendekati ‘e’).

Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam sebuah alfabet ‘i’ bisa terdapat perbedaan dalam pengucapan bunyinya tergantung pada posisinya dalam sebuah kata. Contoh lain lagi adalah perbedaan pengucapan ‘o’ dalam kata ‘tokoh’ yang bisa dibaca [ˈtɔkɔh] (pengucapan bunyi ‘o’ dengan mulut yang lebih menganga) dan [ˈtokoh] (pengucapan bunyi ‘o’ dengan mulut yang tidak terlalu menganga). Walaupun begitu, tidak ada perubahan makna yang ditimbulkan dari kedua fenomena tersebut.

Kasus yang berbeda terjadi dalam perbedaan antara bunyi ‘b’ dengan ‘p’. Kita bisa mengucapkan kata ‘bab’ seolah-olah bunyi ‘b’ yang terakhir adalah ‘p’. Akan tetapi, penggantian ‘b’ oleh ‘p’ tidak bisa terjadi dalam awal kata. Bayangkan, Anda ingin mengucapkan ‘bab’ tapi malah menjadi ‘pab’. Oleh karena itu, ada perbedaan antara bunyi ‘b’ dengan ‘p’.

Dalam bahasa Arab, kasus seperti itu dapat dimisalkan dengan perbedaan antara ‘hamzah’ dengan ‘ain’. Jika ‘alim’ diawali hamzah artinya adalah “tersakiti” atau “menyakitkan”, maka jika ‘’alim’ diawali ‘ain’ artinya menjadi “yang berilmu”. Dua kata yang maknanya sangat berbeda, bukan? Ironisnya, masyarakat kita seringkali salah dalam membedakan keduanya. Bahasa ibu kita hanya mengenal ‘a’ tanpa ada ‘ain’ sehingga segala kata yang berkaitan dengan ‘ain’ akan disederhanakan seolah-olah itu ‘hamzah’.

Untuk membedakan bunyi hamzah dan ain seperti contoh tersebut, atau ‘qaf’ dengan ‘kaf’, pun bunyi-bunyi lainnya, diperlukan sebuah pemahaman terhadap makharijul huruf. Menurut Samir (2024) makharijul huruf merujuk kepada titik dihasilkannya bunyi bahasa Arab. Titik tersebut bisa berasal dari mulut, tenggorokan, atau nasal (hidung). Alasan bunyi ‘qaf’ berbeda dengan ‘kaf’ ialah karena adanya titik keluar bunyi yang berbeda pada keduanya. Jika ‘qaf’ keluar dari bagian belakang lidah, maka ‘kaf’ berasal dari posisi yang agak ke depan dan sudah masuk ke bagian mulut.


Dalam fonologi bahasa Indonesia, makharijul huruf disebut dengan artikulator. Perbedaannya, juga yang jadi merepotkan, ada beberapa bunyi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia, pun sebaliknya. Masalah semakin runyam ketika penutur asli bahasa Indonesia tidak menyadari adanya masalah tersebut sehingga sering ditemukan berbagai kesalahan saat pengucapan bunyi bahasa Arab. Kebanyakan dari mereka mengucapkan bunyi bahasa Arab dengan bunyi yang ada dalam bahasa Indonesia, seperti ‘kha’ diucapkan menjadi ‘ha’, ‘ain’ menjadi ‘a’, dan sebagainya.

Transkripsi Fonetik

Menurut Wulandari (2020) ada beberapa alasan yang menyebabkan masyarakat kita tidak bisa mengucapkan bunyi bahasa Arab dengan benar. Pertama, ada beberapa bunyi bahasa Arab yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Sebut saja ‘tsa’, ‘dza’, dan ‘ain’. Kedua, keterbatasan masyarakat dalam memproduksi ujaran bahasa Arab. Kebanyakan orang Indonesia belajar bahasa Arab hanya saat belajar Al-Qur’an, itu pun tidak menyasar hingga ketepatan makharijul huruf-nya.

Ketiga, kebiasaan dalam menuturkan bahasa ibu (dalam hal ini bahasa Indonesia atau bahasa daerah). Kebanyakan penutur bahasa Jawa mengucapkan bunyi ‘fa’ dengan ‘pa’ atau penutur Lampung mengucapkan ‘gha’ dengan ‘go’. Hal itu karena dalam bahasa Jawa dan Lampung tidak terdapat terdapat bunyi ‘fa’ dan ‘gha’. Keempat, pengajaran bahasa Arab yang tidak sempurna. Hal ini banyak terdapat dalam pengajaran bahasa Arab yang tidak menekankan makharijul huruf sehingga para pembelajarnya tidak menyentuh aspek paling dasar dari bahasa Arab itu sendiri.

Jika akar dari permasalahan tersebut tidak segera terselesaikan, maka akan terbentuk lingkaran setan yang tidak pernah putus. Pengajar bahasa Arab yang merupakan produk kesalahan pengajaran bahasa Arab akan melakukan transfer pengetahuan yang salah kepada anak didiknya. Kemudian, jika anak didik tersebut suatu saat menjadi pengajar maka akan mengajarkan kesalahan lagi kepada anak didiknya. Begitu seterusnya tanpa mereka sadari. Oleh karena itu, diperlukan sebuah transformasi dalam pengajaran bahasa Arab dasar, yang berkaitan dengan pengajaran Al-Qur’an dasar juga tentunya, di Indonesia.

Di tengah iklim pembelajaran yang selalu berpatokan kepada bahan ajar tertulis sebagai pedoman, menerapkan transkripsi fonetik adalah hal paling dasar yang bisa dilakukan. Transkripsi fonetik adalah penulisan bunyi bahasa secara akurat dengan memanfaatkan huruf alfabet (Chaer, 2019). Jika dalam alfabet hanya ada huruf ‘e’, maka transkripsi fonetik mendetailkannya menjadi [e], [ɛ], dan [ə]. Karena ada transkripsi itu, kita bisa mengetahui bahwa antara [səri] yang berarti ‘imbang’ dengan [seri] yang berarti ‘macam’, ada perbedaan dalam pengucapannya.

Dalam transkripsi Arab-Indonesia, transkripsi fonetik berguna untuk mengalihbahasakan bunyi-bunyi bahasa Arab ke dalam alfabet Indonesia. Hal itu tentunya menjadi terobosan baru mengingat selama ini kita lebih umum berpedoman kepada buku Iqra yang hanya dipenuhi huruf hijaiyah tanpa panduan transkripsi Indonesianya. Dengan itu, pembelajar akan dimudahkan ketika mengulang pelajaran karena, walaupun tanpa pengajar, mereka tetap bisa melakukan muthola’ah pelajaran tanpa harus kebingungan bertanya kepada siapa. Di sisi yang lain, pengajar memiliki pedoman pengajaran yang lebih pakem dan indikator keberhasilan dalam makharijul huruf dapat lebih mudah dipatok.

Metode Qiroati: Sebuah Harapan Baru

Saat pertama kali masuk ke pesantren, saat itu tahun 2021, saya mulai mengenal metode Qiroati dalam pembelajaran Al-Qur’an tingkat dasar. Awalnya saya skeptis ketika pertama kali mempelajarinya. Bagaimana tidak, saya yang sudah berkali-kali khatam Al-Qur’an sebelum masuk pesantren harus mengulangi belajar Al-Qur’an dari dasar lagi. Mirip-mirip dengan Iqro’ dalam pandangan saya saat itu.

Akan tetapi, setelah saya mencicipinya untuk pertama kali, sebuah insight baru langsung saya tangkap. Ternyata belajar dengan metode Qiroati tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Pun tidak sama saat saya mempelajari Iqro’. Untuk mengkhatamkan sampai enam jilid, saya harus bersusah payah selama kurang lebih satu tahun. Saat itu, saya baru menyadari betapa kurangnya pendidikan Al-Qur’an yang selama ini sudah saya pelajari. Lantas, “Apa yang sudah saya dapat selama belasan tahun mempelajari Al-Qur’an?” pikir saya


Kredo Qiroati adalah 3M, yaitu mangap, mringis, mecucu (menganga, meringis, dan mengerut). Maksudnya, dalam mengucapkan kalimat ber-fathah, mulut harus menganga selebar mungkin, kasrah harus meringis dengan maksimal, dan dhammah harus mengerut. Pelafalan sesuai makharijul huruf juga menjadi sesuatu yang sangat ditekankan, seperti harus bisa membedakan huruf-huruf yang mirip. Jika aspek-aspek tersebut tidak bisa dipenuhi, mau tidak mau para santri harus mengulang satu jilid yang sama selama berminggu-minggu, bahkan bisa berbulan-bulan.

Yang menjadi keunikan lain dari Qiraati adalah buku ajarnya yang tidak diperjualbelikan secara bebas. Untuk mendapatkannya, seseorang harus mendapat izin dari koordinator setempat yang ditunjuk oleh Koordinator Pusat Qiraati di Semarang. Selain itu, pengajar yang diperbolehkan untuk mengajar adalah mereka yang sudah lolos pembinaan dan pengujian untuk mendapat syahadah dari koordinator setempat (Zarkasyi dalam Effendi, 2022). Tentunya hal itu menjadi suatu kebijakan yang sangat cerdik untuk menghindari kesalahan yang terus berulang antara pengajar dengan yang diajarnya.

Akan tetapi, selama belajar dengan metode ini, masih ada sebuah kesulitan tersendiri bagi saya saat berhadapan dengan keinginan untuk muthola’ah. Saya kebingungan harus bertanya kepada siapa perihal beberapa pelajaran yang belum saya pahami, khususnya dalam pengucapan sebuah huruf hijaiyah. Karenanya, pembelajaran yang saya lakukan sebatas saat jam pelajaran. Kalaupun di luar jam pelajaran, saya harus coba mengingat-ingat cara pengucapan yang betul dari sebuah huruf. Dengan konsekuensi bisa saja salah tentunya.

Oleh sebab itu, seperti gagasan yang sudah saya paparkan sebelumnya, penting rasanya untuk menambahkan transkripsi fonetik dalam metode ini. Jika hal itu dilakukan, dorongan bagi para pembelajarnya untuk melakukan muthola’ah akan menjadi semakin besar. Sehingga, belajar Qiroati menjadi bisa dilakukan di manapun selama memungkinkan, tidak melulu harus di dalam kelas.

Terakhir, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, harus diakui bahwa kemunculan Qiraati membawa semacam harapan baru di tengah pragmatisme pendidikan Al-Qur’an kita. Bukan tidak mungkin jika Qiraati terus didorong untuk tampil di permukaan, kualitas membaca Al-Qur’an dapat terdongkrak. Hanya saja, perlu diingat bahwa sebagus apapun suatu hal, selalu ada ruang evaluasi untuk menjadikannya semakin baik.[]

Tim Redaksi 
×
Berita Terbaru Update